Tanpa suporter, sebuah klub sepak bola tak akan ada artinya. Namun karena mereka pula klub bisa dapat cap negatif lewat aksi fanatik yang anarkis. Bagaimana serunya fanatisme klub sepak bola di tanah Inggris.
Banyak pengertian tentang suporter. Satu hal yang pasti bahwa suporter adalah pemain ke-12 dari sebuah tim sepakbola, bahkan lebih dari itu. Elemen teramat penting yang selalu memberikan suntikan semangat dan motivasi bagi para pemain yang sedang berlaga. Maka tak heran jika kemenangan sebuah tim biasanya lebih sering diraih di kandang sendiri.
Hampir di seluruh negara di belahan dunia memiliki suporter sepak bola yang siap mendukung timnya. Termasuk di Indonesia yang memiliki barisan suporter yang siap mati demi timnya. Hooligans, para berandal yang bersatu kala tim kesayangan mereka yang juga dikenal dengan sebutan The Three Lions berlaga.
Tak jarang para beranadal yang sebagian besar gemar minum alkohol ini suka melakukan kekacauan sebelum dan seusai pertandingan selesai baik merayakan kemenangan maupun pemberontakan kala timnya kalah. Hal ini sering terjadi di jamuan laga internasional antar negara seperti Piala Dunia, Piala Eropa, dan gelaran sepak bola internasional lainnya. Dan pada kenyataannya kekerasan hooligan di Inggris itu punya sejarah panjang dan umur yang sama dengan olahraga sepak bola itu sendiri.
Arwah fanatisme tingkat tinggi para suporter Inggris tak hanya ada saat tim Inggris berlaga. Hooliganisme pun merambah pada klub-klub mereka yang berlaga di liga utama mereka. Setiap klub memiliki fans garis keras yang hidupnya kental dengan aroma pertarungan di jalanan. Di film The Green Street Hooligans, diceritakan bagaimana kehidupan para fans fanatik klub West Ham United. Mereka hidup dan bertarung di jalan-jalan kota London atas nama kesetiakawanan, loyalitas, harga diri dan kebanggaan. Bukan semata-mata penonton yang beli tiket dan berteriak memberi dukungan pada tim kesayangannya saat bertanding. West Ham United dan Millwall merupakan salah satu persaingan paling lama di Inggris, walaupun mereka hanya bertemu beberapa kali. Namun persaingan East London Derby ini telah berkurang, karena kedua klub telah bermain di divisi yang berbeda dalam jangka waktu cukup lama. Peluang kedua tim bertarung adalah melalui pertandingan Piala FA dan Carling. Ketika kedua tim bertemu dalam petandingan Piala Carling tanggal 25 Agustus 2009, kerusuhan pun tak terelakkan lagi. Bentrokan pecah di dalam dan di luar Stadion Upton Park. Pemain West Ham memprovokasi fans Millwall yang timnya kalah dengan skor 1-3. Di luar stadion dilaporkan seorang pendukung Millwall ditikam oleh fans West Ham.
Di London Utara, Arsenal dan Tottenham hanya terpisah jarak lima mil satu sama lain. Persaingan dimulai pada tahun 1919 ketika Arsenal promosi ke divisi utama dan Tottenham ketika itu sedang mengalami masa kejayaan. Persaingan kedua tim diperparah dengan penghianatan Sol Campbell yang menyeberang dari Spurs ke Arsenal pada tahun 2001. Padahal saat itu Campbell menjabat sebagai kapten Spurs. Ia pun dilabeli “Judas” oleh pendukung Spurs Yid Army’s.
Di London Barat, derby seru kerap terjadi saat Chelsea jumpa Fulham. Sedangkan di London Selatan, derby panas adalah milik Charlton Athletic, Crystal Palace, dan Wimbledon. Terutama saat Wimbledon masih bermarkas di Selhurst Park (kandang Crystal Palace). Wimbledon dikenal dengan permainan kasarnya hingga diberi julukan The Crazy Ganks. Namun setelah Wimbledon pindah markas ke Milton Keynes, derby London Selatan tidak sepanas dulu lagi.
The Kop
Kota Liverpool dan Manchester juga menjadi basis suporter terfanatik di Inggris. Kebesaran nama kedua tim tersebut tak luput dari prestasi timnya dan tentu saja para suporternya. Liverpool yang bermarkas di Anfield sejak tahun 1884 memiliki jumlah suporter yang sangat banyak dan fanatik. Sejak kehadirannya, klub yang berjuluk ‘The Reds’ ini sudah banyak menoreh prestasi gemilang. Hingga pada 29 Mei 1985 terjadi sebuah tragedi yang menodai Liverpool dan fanatisme hooligan Inggris.
Tragedi yang dikenal dengan tragedi Heysel terjadi kala hooligan Liverpool bertemu dengan suporter Juventus pada pertandingan final Piala Champions di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah pendukung Liverpool, dan terjadilah baku hantam massal di dalam stadion.
Bahkan pagar pembatas yang memisahkan mereka pun rubuh dan total 39 orang tewas akibat bentrok tersebut. FIFA lalu menjatuhkan skorsing bagi semua klub Inggris untuk tidak mengikuti seluruh kompetisi Eropa yang diadakan UEFA sebagai imbas dari tragedi tersebut. Namun para penghuni The Kop (area paling militan di stadion Anfield) tak akan lelah untuk terus menyanyikan lagu kebangsaannya yang berjudul You’ll Never Walk Alone demi mendukung tim kesayangan mereka.
Rivalitas, derby dan seteru abadi memang menjadi salah satu faktor utama yang membakar semangat fanatisme. Kita dapat melihat bagaimana ‘gilanya’ semangat setiap pemain Liverpool saat menjamu seteru abadi mereka, Manchester United (MU) di Anfield, begitu pula sebaliknya. MU juga punya sejarah rivalitas yang panjang dengan Leeds United dan Manchester City. Hampir di setiap pertandingan antara MU dan Leeds selalu dihiasi dengan bentrokan antar suporter mereka. Sejarah mencatat pada tanggal 14 September 2002, duel Premier League antara MU kontra Leeds United membuahkan kerusuhan berdarah antar suporter kedua tim di Ellan Road. Fans Leeds pun dibikin sakit hati bukan main saat pemain pujaan mereka, Rio Ferdinand dan Alan Smith hijrah ke MU.
Di kota Manchester, para Citizens (fans Manchester City) sama sekali tak menganggap Manchester United sebagai bagian dari kota Manchester. “Manchester is blue.” kata mereka. Kendati miskin prestasi, fans fanatik City tak kunjung berkurang dan sangat loyal. Mantan personel Oasis, Liam dan Noel Gallagher, adalah penggemar berat City yang paling terkenal dan suka menulis lagu untuk City. Mereka pun kerap melontarkan kebenciannya kepada United.
Di Old Trafford, kandang MU, para suporter menyindir rivalnya dari Manchester City dengan cara memasang spanduk bertuliskan jumlah gelar Setan Merah dan betapa lamanya City tak kunjung meraih gelar sejak memenangi Piala Liga tahun 1976. Hingga kini para suporter MU juga masih sering membentangkan spanduk bertuliskan Manchester United is My Religion, Old Trafford is My Church, kala MU bertanding di lapangan hijau.
Namun mereka semua pada kenyataannya dapat bersatu tanpa perseteruan saat tim nasional Inggris berlaga di kancah internasional. Dengan banyaknya ancaman sanksi yang diberikan oleh FIFA, para hooligan Inggris berpikir dua kali untuk melakukan tindakan anarkis karena takut dikenai sanksi yang dapat merugikan tim dan mereka sendiri. Bagaimana pun juga, bagi para hooligan – seperti kata Bill Shankly, sepak bola bahkan lebih penting dari urusan hidup dan mati.
“Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it’s much more important than that”
Bill Shankly, Liverpool
0 komentar:
Posting Komentar